Saturday, May 15, 2004

The Future


I've to admit that in the last two weeks, I'd been walking in the land of nowhere, stranded between valleys of question and despair. Merangkak perlahan dalam sebuah subway berkecepatan tinggi, tepat di bawah kehidupan kota yang penuh dengan keceriaan yang bising dan warna-warni gelak tawa. Sejumlah rekan yang ketemu sehari-hari mungkin melihatku seperti biasanya, gila dan sensasional, tidak awas akan sebuah kawah bernama Kekecewaan yang menganga di dalam kekelaman hati.

Dalam beberapa bulan terakhir ini ada banyak hal yang luar biasa terjadi, perkara yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, situasi yang begitu ajaib dan inspirasional. Tapi selain dari itu, aku juga memiliki sejumlah proyek pribadi yang untuk mencapainya aku harus membayar harga yang sangat-sangat mahal dan penuh dengan tetesan air mata, dalam pengertian yang sesungguhnya. Seringkali aku harus meringkuk gemetaran di balik dinginnya sel yang bernama Kesendirian. Tidak ada satupun orang yang mengetahui. Juga tidak ada satupun yang boleh mengetahuinya. Setidaknya hingga waktunya tiba.

Sejumlah proyek meminta pengorbanan yang begitu besar, sehingga aku mulai kehilangan tenaga untuk melanjutkan, tenggelam dalam keputusasaan dan mulai kehilangan sasaran yang hendak dituju. Tidak jarang aku tergeletak lemah, bingung untuk apa bersusah payah melakukan segala pengorbanan ini. Jiwaku sering berteriak kepayahan, merasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan semua ini sendirian tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Visi yang memudar. Mimpi yang terampas oleh bayangan hitam yang bernama Kepedihan dan Kecemasan. Rintihan yang lirih. Desahan yang lebih mirip ratapan.

Lalu ketika perkara-perkara baru itu mendadak saja melompat ke dalam tangan, aku sempat merasakan bangkitnya denyut kegairahan yang baru. Generator telah berfungsi kembali. Setiap engsel terminyaki dengan baik, siap untuk berputar dan menari-nari. Bagaikan seorang taichi master, aku mengalir dengan usaha yang hampir nihil, hanya menggunakan hembusan angin yang ada menjadi tenaga yang berkonsentrasi. Satu set sound system besar yang bernama Antusiasme menggelegar di sekeliling stadiun.

Beberapa saat lamanya aku melompat dengan sentilan-sentilan ringan, layaknya embun yang menetes dari satu daun ke daun lainnya. Perlahan-lahan, aku melayang, menukik, dan melayang lagi dengan kombinasi salto semakin lama semakin cepat. Menikmati desiran yang bernama Kesuksesan di setiap manuver yang ada. Lupa akan pengorbanan, sibuk dalam awan yang penuh dengan percikan listrik bernama Kreatifitas.

Namun, malam selalu datang tanpa terelakkan. Aku merasa kehilangan kendali kembali ketika mentari mulai menurunkan tirainya. Pekerjaan-pekerjaan baru tersebut tidak tampak gemilang lagi. Sinar bulan justru menampilkan permukaannya penuh dengan bopeng yang bernama Kebosanan. Seakan terlepas dari jangkarnya, aku kembali terseret oleh ayunan alam. Aku kehilangan sesuatu. Sesuatu hilang dariku. Itu makin terasa nyata semenjak dua minggu yang lalu.

Hari ini, ya hari ini, hampir-hampir serupa dengan ribuan hari lainnya yang telah kujalani di dalam hidup ini, sesuatu yang bersejarah telah terjadi. Tabir waktu telah terbuka. Untuk sekian detik lamanya, bahkan tidak sampai lima detik, aku melihat masa depanku terbentang dengan tiba-tiba. Tepat di depan pintu masuk parkiran Mall Taman Anggrek, di sela-sela kerumunan penjejak bumi, di tengah kepulan karbonmonoksida. Masa Depan, begitu lembut, indah, cantik dan mempesona masuk tanpa mengetuk lebih dahulu, membiarkanku terkejut dan menghentikan nafasku beberapa saat. Kebisingan mobil sejenak berteriak dalam bunyian yang sunyi, kegaduhan kondektur bis juga berseriosa dalam ketukan yang senyap, sementara celotehan para tukang ojek berkecamuk dalam lirik yang halus.

Masa Depan bergulir datang. Tidak cukup lama untuk bisa dinikmati, namun cukup untuk menggetarkan hati. Selama beberapa menit, setelah Masa Depan berkelebat pergi, aku meluncur turun dari ruang cerebrum ke ruang denyut, memukul-mukul tambur yang besar dengan ritme yang tidak beraturan. Aku tidak siap. Aku memang sangat menanti-nantikan kehadirannya, sesuatu yang pernah ada dahulu namun harus kukorbankan untuk sejumlah proyek pribadi, tapi tidak pernah kusangka slide show Masa Depan ditayangkan di saat itu juga, di tempat yang begitu tidak wajar. Setiap sel dalam tubuhku menerima gerombolan impuls keterkejutan yang bernama Ketakutan, Kepanikan, dan Kehancuran. Cakar-cakar visiku kembali menggeliat, namun penuh dengan kegetiran. Seakan-akan mengalami 'Abort, Retry, or Ignore?', sistem tubuhku meminta respon yang tepat terhadap impuls tersebut. Apakah aku harus takut? Apakah aku harus bahagia? Aku baru saja melihat Masa Depan, jadi aku putuskan bahwa aku harus berbahagia.

Ya, aku tersadar. Aku telah membiarkan diriku hanyut dalam samudera yang bernama Kesibukan, namun lupa membawa kompas yang bernama Mimpi. Aku telah melupakan keindahan segala pengorbananku akan Masa Depan. Aku telah berjalan tanpa sambil menutup mata, atau setidaknya melihat ke arah yang tidak seharusnya. Ah, seandainya Masa Depan tidak muncul, aku akan terus terhilang dan mati tersedot dalam putaran yang bernama Kesia-siaan.

Aku melihat Masa Depan. Sang Maha Masa Depan mengijinkanku untuk mengintip pekerjaannya. Tiap tetesan semangat yang terkuras rasanya benar-benar akan menghasilkan buah yang gemuk. Jalinan kesepian yang menumpuk rasanya akan terbayar suatu saat nanti. Perkara-perkara baru yang sedang kukerjakan sekarang dengan luar biasa mencitrakan sketsa yang indah bagi Masa Depan. Aku telah melihat Masa Depan, maka walaupun sendirian, aku akan terus bertahan hingga sampai pada sang tujuan, Masa Depan.
-smile-
Bully

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home